Senin, 15 Agustus 2022

Pemahat di Huta Siallagan

 

   

(Gambar Pemahat Desa Siallagan-Pindaraya)

    Huta Siallagan merupakan desa wisata yang melahirkan banyak pelaku kerajinan salah satunya adalah pemahat. Sebagian besar mata pencaharian di desa ini berasal dari hasil kerajinan tangan yang dijual di kios sekitaran pinggir jalan lokasi wisata Huta Siallagan dan pesanan dari luar negeri khususnya negara Eropa. Berdasarkan narasumber yang kami jumpai yaitu Bapak Siahaan (pemahat Magic Stick/Tunggal Panaluan) Tunggal Panaluan memiliki arti yakni kata tunggal berarti satu dan panaluan berarti selalu mengalahkan. Tongkat sakti ini hanya dimiliki oleh para dukun. Tongkat sakti dipercaya sebagai tempat bersemayam roh leluhur yang mampu memanggil hujan, menyembuhkan orang, mengusir wabah penyakit, menjaga rumah, serta mendatangkan berkah dan menyerap energi negatif. Pembuatan tongkat ini juga tidak sembarangan. 

(Gambar Tongkat Tunggal Panaluan)

    Tunggal panaluan terbuat dari kayu tada-tada dan ada ritual sesajen, pangurason dan berpuasa dalam proses pengerjaannya. Beberapa orang percaya, jika memiliki tongkat ini mereka akan memiliki kekuatan, kekuasaan dan ditakuti. Tongkat sakti ini tak lepas dari berbagai legenda masa lalu yang ada dalam masyarakat. Konon, pada masa lalu Sang raja memiliki anak kembar, laki-laki dan perempuan yang pergi bermain ke hutan. Masyarakat Batak memiliki adat untuk tidak memperbolehkan hubungan sedarah dan hubungan semarga. Mereka tidak boleh menikah dengan orang yang satu marga dengannya. Namun, menurut cerita kedua anak kembar tersebut melakukan hubungan badan ketika bermain di hutan. 

    Sang raja khawatir, karena kedua anaknya belum kembali sampai sore hari. Sang raja pun bergegas memanggil datu untuk meminta bantuan mencari anaknya. Sesampainya di hutan, mereka melihat bahwa dua anak tersebut terperangkap di dalam pohon. Ketika mencoba untuk mengeluarkannya, datu tak bisa melakukannya. Sang dukun tersebut justru ikut tersedot ke dalam pohon itu. Sang raja pun memanggil dukun lainnya dan mereka juga tersedot. Hingga akhirnya, sang raja memanggil dukun yang paling sakti, namun tak bisa dan tersedot juga. Konon, ini menandakan bahwa alam murka akibat adanya aturan yang dilanggar, bahwa tidak boleh berhubungan sedarah dan semarga. Akhirnya, pohon tersebut ditebang dan diukir berdasarkan orang-orang yang tersedot ke pohon kayu tersebut. Maka dari itu, tongkat ini memiliki ukiran wajah orang-orang.

BATU SIRA

(Gambar Objek Wisata  Animisme/Batu Sira)

Kursi Batu Sira adalah salah satu peninggalan sejarah Batak di pulau samosir. Parulubalangan Kursi Batu Sira terletak di Samosir Kecamatan Simanindo Desa Siallagan Pindaraya serta salah satu bukti sejarah akan kepercayaan penduduk setempat. Pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pengadilan para penjahat oleh raja-raja Batak maupun tokoh adat lainnya, dimana terdakwa akan dipasung selama beberapa hari tanpa makan dan minum hingga tiba saatnya dia dieksekusi mati. Dan proses selanjutnya penyucian diri si terdakwa (penjahat) dengan mengambil jantung dan hatinya. Kedua organ ini akan dicampurkan kedalam gulai kerbau atau babi yang kemudian akan dibagikan ke semua orang di kampung. 

(Gambar Batu Pengadilan)

Karena pada zaman tersebut setiap suku punya kepercayaan dan budaya yang dianut dan mayoritas kepercayaan masih animise, mereka masih percaya akan kekuatan Alam maupun Roh leluhur. Di tempat ini terdapat meja serta beberapa kursi batu. Terdapat pula sebuah formasi batu yang merupakan tempat penyajian makan kepada Raja. Tempat ini terdiri dari tiga tingkat yang bisa diakses melalui undakan yang terdapat disana. Dan pada setiap tingkat terdapat pula patung ornamen Batak yang berbentuk monyet ataupun manusia. Konon patung-patung ini menggambarkan prosesi pengadilan yang berlangsung.

BATU KURSI PERSIDANGAN RAJA SIALLAGAN (STONE CHAIR SIALLAGAN)

(Gambar Huta Siallagan)

Batu Kursi Persidangan Raja Siallagan berlokasi di desa Siallagan-Pindaraya, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Huta Siallagan merupakan kawasan bersejarah di Samosir. Berdasarkan kisah lampau kampung ini merupakan peninggalan jejak kanibal di tanah batak. Saat ini, Huta Siallagan menjadi destinasi wisata yang masih banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Ketika kita memasuki Huta ini kita akan disambut dengan rumah adat batak yang berbaris rapi dengan berbagai macam warna mulai dari hitam putih dan merah. 

Bentuk rumah orang batak seperti perahu, karena dahulu sebelum mendapatkan tempat menetap orang batak tinggal di perahu. Atap rumah batak bagian belakang lebih tinggi daripada bagian depan karena orang tua mengharapkan para keturunannya lebih tinggi (lebih baik). Pintu rumah batak kecil tujuannya agar setiap orang yang masuk harus menundukkan kepala sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang berada di dalam. Di Huta ini terdapat dua jenis rumah adat batak Toba yang pertama Rumah Bolon. Rumah Bolon adalah rumah yang ditempati oleh Raja dan anaknya. 

Rumah ini bentuknya lebih besar dan tangganya dari dalam. Sedangkan, rumah Siamporik bentuknya lebih kecil, tangganya dari luar, dan dihuni oleh keluarga yang diundang tinggal di Huta itu (boru, bere, dan marga Siallagan yang bukan keturunan Raja). Di depan Rumah Bolon terdapat pohon Hariara (jenis pohon lokal) yang digunakan sebagai tempat pemujaan atau parulubalangan. 

(Gambar Batu Kursi Persidangan Siallagan)

Di samping pohon Hariara terdapat batu persidangan. Urutan tempat duduk dari setiap tokoh dalam persidangan:

  1. Kursi Raja
  2. Tempat duduk bagi Raja-raja yang biasanya adalah adik-adik Raja
  3. Tempat bagi dukun kerajaan
  4. Tempat algojo atau pengawal Raja
  5. Kursi persakitan atau terdakwa
  6. Penasehat korban
  7. Penasehat terdakwa
  8. Penasehat Raja

Di batu persidangan ini Raja bersama dengan dukun, hulubalang, dan penatua ada melakukan musyawarah untuk mengambil setiap keputusan. Zaman dahulu, batu persidangan ini merupakan tempat Raja Siallagan mengadili para penjahat. Jika kejahatannya masih tergolong kecil contohnya seperti mencuri kerbau maka sanksi yang diberikan adalah menggantikan empat kali lipat hasil curiannya satu dikembalikan kepada korban dan tiga lagi diberikan kepada raja dan hal ini diputuskan oleh penatua. Jika tidak bisa mengganti sebesar empat kali dari nilai benda yang diambilnya pencuri tersebut haruslah menjadi budak raja. Kejahatan yang kedua tergolong sedang contoh kejahatannya seperti memperkosa, membunuh, berkelahi. 

Hukuman yang diberikan adalah dipenjara. Lamanya hukuman penjara yang diterima oleh terdakwa tergantung dari hasil pembicaraan antara penasehat raja, penasehat terdakwa, dan penasehat korban. Mereka akan melihat dan menimbang nilai-nilai yang ada pada hukum adat Batak. Keputusan akhir akan diberitahukan kepada Raja dan Raja hanya akan mengesahkannya. Kejahatan yang ketiga tergolong berat contoh kejahatannya yaitu seperti pengkhianat kerajaan, panglima musuh yang berhasil tertangkap ketika berperang, dan pria yang ketahuan berselingkuh dengan salah satu isteri Raja. 

Hukuman yang diberikan adalah hukuman mati. Raja tidak akan memberikan toleransi terhadap kejahatan itu. Hukuman mati berupa pemacungan adalah hukuman yang tidak bisa ditawar lagi. Sebelum memasuki tahap pemacungan terlebih dahulu terpidana akan dipenjara dengan cara dipasung. Lokasi penjara ada di bawah kolong Rumah Bolon Raja, alasan korban dimasukan ke kolong bawah Rumah Raja yaitu karena terpidana sudah dianggap sama seperti binatang sehingga layak untuk dimakan. 

Dan selama pemasungan terpidana tidak akan diberikan makan dan minum. Alasan terpidana tidak langsung dipancung adalah untuk melihat dan menghilangkan ilmu hitam yang dimiliki oleh terpidana. Alasan kedua adalah proses pemacungan tidak dilakukan sembarangan. Jadi, sebelum proses pemacungan Raja akan bertanya kepada dukun mengenai bulan baik dan hari baik (maniti ari) untuk memacung terpidana, untuk menentukan hari baik sang dukun akan bersemedi dibawah pohon hariara. Usai bersemedi dan mendapatkan hari baik barulah terpidana akan dieksekusi.

(Gambar Batu Eksekusi)

Setelah hari baik sudah ditentukan maka terdakwa dibawa ke batu eksekusi untuk dipancung. Sebelum dipancung terdakwa ditutup matanya menggunakan kain ulos selama perjalanan menuju batu kursi eksekusi dan juga saat dipancung hal ini dilakukan untuk mencegah kotak mata dengan orang-orang yang hadir disekitarnya tidak merasa iba/kasihan. Setelah matanya ditutup, terdakwa dibaringkan di meja penyiksaan, lalu badannya dipukul menggunakan tongkat raja yang bernama tongkat tunggal panaluan sambil membaca mantra dan menari mengelilingi batu tujuh kali hingga tubuhnya lemas. Pemukulan tersebut di tujukan untuk melepaskan semua ilmu hitam yang ada ditubuh terpidana. Setelah itu badan terpidana akan di iris-iris dan disayat-sayat kemudian disiram dengan ramuan dan cairan asam. 

Setelah ilmu hitam sudah hilang terpidana dipindahkan ke atas batu pemancungan atau batu eksekusi. Algojo yang akan melakukan tugasnya harus bisa memutuskan leher terpidana dalam satu kali tebasan. Apabila dalam satu kali tebas ternyata leher terpidana tidak copot dan tidak mati maka algojo akan mendapatkan hukuman dari raja siallagan. Setelah pemacungan salah seorang pembantu raja akan mengambil piring batak untuk meletakkan sedikit darah segar ter pidana diatasnya, kemudian akan ditempatkan diatas meja beserta dengan kepala terpidana. Tubuh yang sudah tidak bernyawa itu kemudian dibelah dua. 

Jantung dan hati akan dikeluarkan dari dalamnya kemudian di iris tipis-tipis dan di campurkan kedalam darah yang berada diatas piring. Dengan tambahan sedikit garam dan asam, campuran hati, jantung dan darah tadi dipersembahkan kepada raja dan orang-orang berilmu hitam  yang hadir di situ. Tujuan diminumnya darah dan dimakannya hati serta jantung adalah untuk menambah kekuatan ilmu hitam yang ada pada raja dan orang-orang berilmu di kerajaan. Tidak hanya dikonsumsi sendiri, raja pun kemudian akan menawarkan daging (jantung dan hati) dan darah tersebut kepada rakyatnya yang hadir pada proses pemancungan. Tujuan raja bertanya seperti itu pada rakyatnya adalah dia ingin melihat siapakah diantara sekian banyak rakyatnya yang punya nyali dan bisa dijadikan sebagai Hulubalang. 

Di bagian akhir badan dari terpidana yang sudah mati akan di buang ke danau dan kepalanya diletakkan tergantung pada gerbang masuk Huta Siallagan. Tujuan kepala tersebut digantung adalah agar setiap orang yang melihat kepala tersebut bisa belajar dan tidak melakukan hal bodoh yang bisa membuat diri mereka dipancung.

Pemahat di Huta Siallagan

      (Gambar Pemahat Desa Siallagan-Pindaraya)      Huta Siallagan merupakan desa wisata yang melahirkan banyak pelaku kerajinan salah satu...